Rabu, 11 November 2015

Hubungan Budaya Bacson Hoabinh - Dongson dan Sahuynh Dengan Budaya Awal Indonesia

Mempelajari budaya yang berkembang di Indonesia pada masa lampau, sangatlah menarik. Hal ini mengingat banyak keterkaitan dengan budaya yang berkembang di kawasan Asia Tenggara.


1. Budaya Bacson Hoa Binh
Kebudayaan Bacson Hoa Binh terletak di Vietnam bagian  utara yang berlangsung tahun 10.000 SM – 4000 SM. Kebudayaannya berkaitan dengan masa berburu dan mengumpulkan makanan. Peralatan hidup terbuat dari batu yang dipakai untuk aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan. Ciri kebudayaan Bacson Hoa Binh dikaitkan dengan tempat pembuatan peralatan hidup dari batu dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.

a. Budaya Hoa Binh
Kebudayaan Hoa Binh memiliki karakter mesolithikum dan ciri-ciri neolithikum. Budaya Hoa Binh berkembang di wilayah Tonkin yaitu daerah Hoa Binh dan daerah Annam (Tanh Hoa dan Quang- Binh). 

Budaya Bacson Hoa Binh merupakan kebudayaan yang berkembang di wilayah Asia Tenggara yang berpusat di daerah Bacson dan Hoa Binh. Kebudayaan yang menjadi ciri khusus adalah kebudayaan batu tengah atau mesolithikum. Kapak yang dikerjakan secara kasar ditemukan disamping kapak yang sudah diasah tajamnya. Oleh R. Soekmono kapak ini disebut dengan proto neolithikum.

Budaya Hoa Binh diperkirakan dibawa oleh bangsa Melanesoid, berkulit hitam, namun berbeda dengan orang Afrika. Kedatangan mereka dibedakan atasa dua gelombang. Gelombang pertama terdiri atas orang yang berbadan pendek, kulitnya sangat hitam. Mereka mengajarkan teknik monofasial kepada orang Austroloid yang membaur dengannya. Hasil budayanya berupa pebble (Kapak Sumatra). Sedangkan gelombang kedua terdiri atas orang berperawakan lebih tinggi, kulitnya lebih putih dan rambutnya berombak.

b. Budaya Bacson
Budaya Bacson berasal dari daerah Bacson, Tonkin. Kelompok orang Melanesoid yang menyebar di Indochina dari arah utara ke selatan pada gelombang kedua selanjutnya berasimilasi dengna orang Austroloid. Mereka mengembangkan budaya kapak pendek dengan memotong sebuah kapak bersisi dua dan mengasah bagian tajamannya.

Berdasarkan penelitian Mme Madeleine Colani, kebudayaan neolith ini disebut kebudayaan Bacson Hoa Binh. Kebudayaan tersebut berada di daerah Tonkin. Tonkin merupakan pusat kebudayaan mesolithikum Asia Tenggara. Daerah Tonkin ditempati bangsa Papua Melanesoid, Eoropaeide, Mongoloid dan Austroloid. Bangsa Papua Melanesoid membawa kebudayaan mesolithikum hingga ke Indonesia. Sedangkan kemampuan mengasah (proto neolithikum) merupakan pengaruh bangsa Mongoloid yang lebih tinggi peradabannya.

Pada saat itu diyakini bahwa Asia Tenggara pada jaman neolithikum merupakan satu kesatu wilayah budaya yaitu budaya neolith dan budaya perunggu. Pendukung kebudayaan ini diperkirakan bangsa-bangsa yang berasal dari daerah sekitar teluk Tonkin dan lembah sungai Mekhong.

Budaya neolith dan perunggu yang berkembang semula merupakan hasil budaya dari rumpun bangsa Melayu yang sejak tahun 2000 SM mulai tersebar di kepulauan selatan. Rumpun Melayu dibedakan atas tiga kelompok besar yaitu Melayu Indonesia, Melayu Melanesia dan Melayu Polynesia. Ketiga kelompok menempati daerah kepulauan di samodra Pasifik, kepulauan selatan hingga Madagaskar.

Sisa-sisa kebudayaan Bacson dan Hoa Binh banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara berupa kapak persegi dan kapak lonjong. Kapak persegi berfungsi sebagai alat untuk memotong kayu, juga sebagai cangkul untuk mengolah tanah (beliung) dan untuk memahat (tarah). Kapak lonjong berupa kapak yang penampangnya berbentuk lonjong dengan ujungnya yang lancip yang ditempatkan pada tangkai, sedangkan ujung yang lain agak bulat dan diasah.

Penyebaran budaya Bacson Hoa Binh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalur barat dan timur. Perpindahan jalur barat melalui semenanjung Malaya – Sumatra – Jawa. Sedangkan jalur timur melalui daerah daratan Asia – Formosa – Philipina dan Sulawesi. Dalam perpindahan jalur barat diikuti dengan penyebaran kebudayaan kapak genggam (pebble). Perpindahan jalur timur membawa kebudayaan kapak pendek.

Di Jawa, bukti arkeologis dari peralatan hidup dari kebudayaan Bacson Hoa Binh dapat ditemukan di lembah sungai Bengawan Solo. Sedangkan di daerah lain meliputi Lhokseumawe dan Medan (Sumatra). Sekitar tahun 600 SM, berlangsung proses perpindahan bentuk peralatan hidup dalam masyarakat Bacson Hoa Binh. Peralatan berupa batu serpih berubah menjadi kapak batu yang berfungsi sebagai alat pemotong.

Dengan demikian, budaya Bacson Hoa Binh yang sampai di Indonesia mewarnai jaman neolithikum. Budaya yang berkembang yaitu budaya pebble dan alat dari tulang yang masuk Indonesia melalui jalan barat. Sedangkan jalan timur merupakan kebudayaan flake.

2. Budaya Dongson
Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara disebut dengan kebudayaan Dongson. Hal ini menurut nama daerah Tonkin. Kebudayaan Dong Son (1500 – 500 SM) terletak di kawasan sungai Ma (Vietnam). Berbagai penelitian  berhasil mengungkapkan banyak peralatan hidup yang terkait dengan budaya Yunan dan berbagai tempat di Indonesia. Kebudayaan ini menghasilkan peralatan hidup dari perunggu dan nekara serta alat dari besi dan kubur pada jaman logam. Budaya Dong Son didukung oleh bangsa Austronesia.


Dari Dongson, kebudayaan perunggu menyebar ke Indonesia melalui jalan barat. Kebudayaan Dongson dibawa oleh bangsa Austronesoid. Kebudayaan Dongson telah diselidiki oleh Victor Goloubew yang berpendapat bahwa kebudayaan perunggu berkembang sejak abad pertama sebelum Masehi. Sedangkan menurut von Heine Geldern, kebudayaan Dongson paling muda berasal dari tahun 300 SM. Hal ini diperkuat dengan penelitian hiasan nekara Dongson yang tidak sama dengan hiasan Tiongkok dari dinasti Han.

Makin berkembangnya kehidupan sosial masyarakat (khususnya Indonesia), maka mendorong makin berkembangnya kemampuan untuk membuat peralatan hidup. Hal ini nampak dari pengolahan logam, khususnya perunggu dan besi. Kemampuan membuat alat dari logam menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki tingkat teknologi yang cukup tinggi. Dalam masyarakat perundagian, telah terjadi pembagian kerja yang baik, dengan kata lain menunjukkan ciri masyarakat yang teratur. Teknik pembuatan alat dari perunggu dilakukan dengan dua cara yaitu bivalve dan a cire perdue.

Berdasarkan temuan arkeologis, manusia pada sejarah awal di Indonesia hanya mengenal alat dari perunggu dan besi. Perhiasan yang digunakan selain dari bahan perunggu, juga telah dikenal bahan emas. Sisa kebudayaan perunggu dari Dongson banyak berupa bejana perunggu, nekara, kapak perunggu, arca perunggu dan perhiasan. Adapun peralatan hidup dari bahan besi meliputi : mata kapak, mata sabit, mata pisau, mata pedang, cangkul dan tongkat.

Penemuan peralatan hidup dari perunggu di Indonesia, memiliki ciri khas bercorak Dongson. Dengan demikian tidak ada pengaruh dari budaya logam daerah India maupun Cina. Budaya perunggu di Indonesia memiliki corak, ragam hias dan bahan yang sama dengan budaya Dongson. Hal ini dapat dilihat pada nekara yang ditemukan di Sangean (Sumba) dan pulau Selayar (Sulawesi). Nekara di pulau Selayar terdapat gambar gajah dan burung merak.

Pesatnya perkembangan teknologi perunggu di Indonesia, diikuti dengan timbulnya pusat pembuatan peralatan dari logam. Hal ini didukung bukti penemuan alat pencetakan benda perunggu dengan pola dan ragam hias yang tidak ada dalam gaya klasik Dongson. Tempat tersebut meliputi daerah Jawa, Bali dan Madura.

3. Budaya Sa Huynh
Pada masa perundagian, bahan dari logam cukup dominan. Namun demikian tidak berarti meninggalkan peralatan dari bahan tanah. Pembuatan gerabah mengalami perkembangan untuk keperluan sehari-hari, upacara ritual dan penguburan. Gerabah untuk keperluan sehari-hari berfungsi sebagai tempat air dan makanan. Sebagai peralatan upacara digunakan untuk tempat sesajen. Sedangkan untuk penguburan, gerabah/ tembikar digunakan sebagai bekal kubur.

Pembuatan gerabah tidak dapat dilepaskan dari budaya Sa Huynh. Budaya Sa Huynh berada di Vietnam bagian selatan. Kebudayaan Sa Huynh dapat dikatakan hampir sama dengan kebudayaan Dongson. Peralatan hidup yang ditemukan berupa bejana kecil, gelang dan perhiasan. Budaya ini didukung oleh masyarakat yang berbahasa Austronesia yang diperkirakan berasal dari daerah di kepulauan Indonesia. Pendukung budaya tersebut dapat berasal dari daerah semenanjung Malaya atau Kalimantan.

Kebudayaan Sa Huynh memiliki ciri khas berupa penemuan kubur tempayan, yaitu jenasah dimasukkan dalam tempayan besar. Hal ini berarti bahwa tempayan atau gerabah digunakan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, namun juga sebagai kubur. Gerabah yang ditemukan memiliki pola hias garis dan bidang- bidang yang diisi dengan tema tepian karang. Ternyata ciri ini juga dijumpai pada peninggalan gerabah di daerah Sulawesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar