Pola kehidupan masyarakat pada masa sejarah awal dapat dilihat pada ciri sosial, budaya, ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini kehidupan masyarakat pada masa berburu dan masyarakat pertanian.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan
Manusia pada jaman pleistosen di Indonesia yaitu sejak Pithecanthropus sampai Homo memiliki kehidupan yang sangat tergantung pada “pemberian alam”. Alam yang dimaksud adalah tempat yang cukup hewan, bahan makanan dan air. Dengan demikian daerah yang disenangi adalah di tepi sungai atau danau. Mereka hidup berkelompok (20 – 50 orang) untuk menghadapi keganasan alam dan ancaman hewan buas. Kegiatan hidupnya ditujukan pada pemenuhan makanan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dengan alat yang sederhana.
Dalam kegiatan berburu diperlukan organisasi kerja dan diperkirakan telah mengenal bahasa dalam taraf sederhana. Dalam berburu kadang melibatkan 20 – 50 orang. Perempuan tinggal di “pangkalan” guna mengumpulkan buah-buahan, daun-daunan, umbi-umbian dan binatang kecil serta memelihara anak.. Tingkat kematian perempuan cukup tinggi terutama pada saat persalinan. Demikian pula dengan kematian anak pada saat lahir. Orang tua tetap dirawat untuk penerusan pengalaman kepada anak-anak. Bila suatu kelompok terlalu besar, terjadilah proses pemecahan kelompok dan dilakukan penyebaran penduduk. Menurut perkiraan, pada kala pleistosen manusia jenis Pithecanhtropus di Jawa sekitar 500.000 orang.
Faktor yang penting dalam tingkat hidup berburu dan mengumpulkan makanan adalah alat dan api. Peralatan hidup dibuat dari bahan batu, kayu dan tulang. Api mulai digunakan untuk memanasi makanan dan menghindari binatang. Bukti penggunaan api ditemukan pada Pithecanthropus Erectus di Trinil dalam bentuk kayu yang sudah terbakar. Pada tingkat akhir masa berburu ini, ditemukan pula bukti kepercayaan manusia kepada kekuatan alam, khususnya yang berhubungan dengan berhasilnya berburu berupa lukisan pada dinding gua.
Pembuatan peralatan hidup di Indonesia tidak menunjukkan kemajuan. Hal ini mungkin disebabkan masyarakat lebih mengutamakan alat dari bahan kayu. Sedangkan peralatan hidup dari tulang dan tanduk di daerah Ngandong dibuat oleh Homo Soloensis.
Dalam perkembangannya, manusia berusaha mendapatkan tempat tinggal yang dapat melindungi diri dari bahaya alam dan hewan. Mereka memilih tinggal di gua-gua di lereng bukit. Ada sebagian yang memilih tinggal di daerah pantai dan ada yang di pedalaman. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan masa berikutnya. Mereka yang tinggal di pantai bertumpu pada makanan laut (kerang dan ikan), sedangkan di pedalaman pada umumnya di tepi sungai dengan bertumpu pada hasil hutan atau daging hewan buruan.
Dengan demikian ciri kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan (foodgathering) meliputi :
a. kehidupannya foodgathering
b. hidup berpindah tempat (nomaden)
c. hidup berkelompok
d. sudah ada kebudayaan
e. perkembangannya sangat lambat
Masa bercocok tanam tingkat awal
Pada masa ini, di Indonesia timbul usaha hidup mulai menetap di gua alam. Keadaan iklim hampir tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Bekas peralatan hidup atau situs budaya berupa lukisan dijumpai di dinding gua dan batu karang. Masyarakat sudah mengenal penguburan dan disertai dengan bekal berupa perhiasan dan kulit kerang. Selain hidup di gua, masyarakat ada yang tinggal di tepi pantai yang hidup dari “pemberian” laut yang berupa kerang dan siput.
Masa bercocok tanam tingkat awal sering disebut masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Perkembangan kehidupan ini berlangsung sekitar 10.000 tahun yang lalu. Keadaan bumi yang makin stabil mendorong perbaikan hidup manusia. Meskipun demikian mereka masih berburu dan mengumpulkan makanan, manusia sudah mulai menetap agak lama. Satu hal yang menarik perhatian kita yaitu pemilihan tempat tinggal sesuai dengan keinginan mereka, dapat menimbulkan budaya yang berbeda. Kondisi alam dapat mempengaruhi bentuk bahan makanan dan alat kehidupan manusia. Ada sebagian yang memilih tinggal di pantai yang bertumpu pada ikan dan kerang, sedangkan di pedalaman tinggal di tepi sumber air yang bertumpu pada ikan dan hasil hutan serta hewan.
Cara hidup pada masa ini masih sangat tergantung pada alam: iklim, kesuburan tanah, keadaan binatang. Mata pencaharian mereka berburu di hutan, menangkap ikan, mencari kerang dan siput di laut dan sungai serta mengumpulkan makanan di sekitarnya.
Disamping membutuhkan bahan makanan melalui berburu dan mengumpulkan makanan, manusia juga memerlukan peralatan hidup. Peralatan ini berfungsi pokok untuk membantu memperoleh makanan. Dengan demikian mulai dibuatlah peralatan hidup untuk berburu dan mengumpulkan makanan. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan tingkat kemampuan, maka manusia juga membuat alat untuk bercocok tanam secara sederhana.
Selanjutnya manusia mulai hidup menetap agak lama. Hal ini disebabkan adanya kemampuan untuk memproduksi makanan (food producing), menyimpan dan mengawetkan bahan makanan. Cara hidup menetap masih terikat pada kesuburan tanah. Artinya apabila tanah yang ditempati sudah tidak subur, maka mereka pindah ke tempat lain dengan membuka hutan dengan cara membakar. Kehidupan bercocok tanam semula dengan berladang yaitu merambah hutan. Hutan di sekelilingnya ditebangi pohonnya, kemudian dibiarkan kering dan dibakar. Di atas tanah tersebut dikerjakan secara bergotong royong diolah dan ditanami beberapa kali.
Manusia mulai menanam pada tingkat yang sederhana yang dibedakan atas berladang dan bersawah. Selanjutnya hidup berburu dan mengumpulkan makanan mulai ditinggalkan. Manusia menanam jenis tanaman yang dapat cepat mencukupi kebutuhan fisiknya yaitu padi-padian, umbi-umbian dan kacang-kacangan, misal jewawut dan padi. Di Indonesia jenis yang dikembangkan pertama adalah keladi. Hewan mulai dijinakkan yaitu anjing dan babi. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan gigi anjing di gua Cakondo (Sulawesi).
Penggunaan api sudah lebih maju yaitu sebagai pemanas tubuh, penghalau binatang buas dan untuk memasak makanan. Para penghuni gua telah mengenal penguburan mayat dengan menggunakan warna merah, hitam dan putih. Peralatan hidup yang digunakan sudah lebih meningkat dibanding masa sebelumnya.
Kecerdasan otak manusia berkembang, sehingga mendorong meningkatnya ketrampilan mengolah makanan. Alat serpih bilah merupakan peralatan hidup utama disamping peralatan dari bahan kayu, tulang dan kulit kerang. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan mulai ditinggalkan dan melakukan upaya menjinakkan hewan dan bercocok tanam sederhana. Para penghuni gua telah mengenal penguburan mayat. Dengan batu zat pewarna dibuat untuk ditaburkan pada mayat yaitu warna merah, hitam, dan kuning.
Kerangka manusia pada post pleistosen dapat dijumpai di pantai timur Sumatra Utara, gua Jawa Timur dan gua di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Sisa-sisa manusia di Langsa, Tamiang, Binjai, Alur Itam (Sumatra Timur) menunjukkan ciri Austromelanesoid. Manusia ini hidup dengan memakan binatang laut, kerang dan ikan, disamping binatang darat (babi, badak). Mereka sudah mengenal api, penguburan mayat dan upacara tertentu. Manusia Austromelanesoid di gua Sampung hidup dari hewan buruan : kerbau, rusa, badak dan sebagainya dan telah menjalankan upacara penguburan mayat.
Masyarakat Indonesia pada kala pleistosen yaitu daerah Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara didiami ras Austromelanesoid dengan sedikit unsur Mongoloid. Sedangkan di daerah Sulawesi Selatan menunjukkan ras Mongolid. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh Mongoloid yang masuk melalui Philipina – Kalimantan – Sulawesi.
Kelompok manusia berkisar 30 – 50 orang dan hidup di tepi pantai atau gua alam yang terbentang dari Sumatra sampai Irian. Jumlah pria dan perempuan sama pada waktu dilahirkan. Perempuan banyak yang meninggal saat melahirkan dan banyak laki-laki tua. Bahaya bagi laki-laki nampak pada saat berburu. Usia rata-rata manusia berkisar 20 – 30 tahun, sedangkan usia tua di atas 50 tahun.
Kehidupan sosial ekonomi nampak dari alat dari bahan batu, tulang dan kerang. Sebagian dari cara hidup terpencar pada lukisan di dinding karang dan dinding gua di Sulawesi Selatan, Seram, Kei dan Irian. Diperkirakan bambu sudah memegang peran dalam kehidupan, dimana bambu sangat praktis untuk dijadikan alat kehidupan sehari-hari.
Bercocok tanam dengan sederhana dilakukan dengan cara berpindah-pindah menurut kesuburan tanah. Semula mereka menanam jenis ubi-ubian. Selain itu juga menjinakkan hewan, misal anjing, babi.
Lukisan pada dinding gua selain menggambarkan kehidupan sosial ekonom, juga mencerminkan konsep kepercayaan. Lukisan mengandung nilai magis yang berkaitan dengan totem dan upacara yang belum diketahui dengan jelas. Cap jari tangan warna merah diperkirakan sebagai penolak bahaya terhadap makhluk halus yang jahat. Roder dan Gelis menjelaskan lukisan di Irian berkaitan dengan penghormatan terhadap nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi dan kemungkinan keperluan dukun untuk meminta hujan, dan sebagainya.
Gambar kadal di Seram dan Irian mengandung arti magis yaitu sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku. Gambar orang atau sebagian tubuhnya dianggap memiliki kekuatan magis. Gambar perahu di Seram dan irian dianggap sebagai perahu roh nenek moyang dalam perjalanan ke alam baka. Sedangkan gambar manusia dengan perisai sebagai kekuatan magis untuk menolak kekuatan yang jahat.
Masa bercocok tanam tingkat lanjut
Kemampuan manusia untuk menyelenggarakan hidup yang meningkat, memungkinkan bertambahnya jumlah anggota suatu kelompok. Kelompok kecil pada masa berburu, ternyata pada masa bercocok tanam dan beternak telah tumbuh menjadi kelompok-kelompok besar dengan peraturan yang lebih sempurna dan kemampuan yang lebih besar.
Teknologi pertanian mengalami peningkatan. Tanah yang semula dikerjakan dengan tangan (hand agriculture) atau cangkul (hoe agriculture), mengalami perubahan dengan bajak (pluogh agriculture). Bajak ditarik menggunakan hewan peliharaan misal kerbau, lembu atau kuda. Teknologi ini lebih maju, efisien dan efektif. Namun demikian produktivitasnya masih rendah karena masih tergantung pada alam. Manusia mulai berpikir untuk membuat saluran air guna mendukung kehidupan bersawah. Pengairan semula dilakukan dengan mengandalkan hujan. Dengan gotong royong, manusia membuat saluran air yang mengairi lahan pertanian mereka. Sistem penanaman dikembangkan dengan menyusun pranata mangsa yaitu konsep penanaman sepanjang tahun dengan berdasarkan musim.
Kelompok yang mulai menetap, akhirnya berkembang menjadi perkampungan. Kelompok perkampungan merupakan bentuk kesatuan yang lebih besar dari bentuk yang lain, misal marga. Kesatuan dasar masyarakat Indonesia dari hingga sekarang berupa desa. Desa merupakan kesatuan demokratis, dimana segala pertanggungjawaban dipikul bersama. Segala sesuatu dikerjakan secara gotong royong., sehingga memungkinkan hidup secara kekeluargaan yang sangat tebal. Kesatuan dasar ini ipimpin kepala desa dan dibantu dewan desa. Jabatan seorang kepala desa tidak turun temurun, melainkan seumur hidup melalui pemilihan.
Masa bercocok tanam tingkat lanjut sering dikatakan sebagai revolusi besar dalam peradaban manusia. Revolusi ini telah mulai muncul sejak masa mesolithikum dan berpuncak pada masa neolithikum. Perubahan yang dimaksud adalah kehidupan food gathering menjadi food producing. Kehidupan mengembara telah ditinggalkan, manusia telah mengenal bercocok tanam. Orang hidup menetap dengan kepandaian membuat rumah. Hidup berkelompok merupakan pembentukan masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerjasama. Pembagian kerja yang dilakukan, memungkinkan berkembangnya berbagai macam kegiatan manusia.
Manusia lebih banyak menjinakkan hewan dan menanam tumbuhan. Kegiatan berburu dan menangkap ikan tetap dilakukan disamping bercocok tanam. Sejalan dengan meningkatnya kemampuan manusia, maka dihasilkan benda keperluan sehari-hari, misal pakaian, gerabah dan alat kerja. Di daerah yang tandus muncul “industri lokal” yang menghasilkan alat kerja. Hal ini dapat ditemukan di Punung, Kedunglembu, Wonogiri, Bogor, Purwakarta dan Lahat. Kerajinan rumah tangga juga dikembangkan berupa anyaman, gerabah, mengasah alat kerja dan sebagainya. Pertumbuhan sosial ekonomi demikian memungkinkan berlangsungnya sistem perdagangan pada taraf awal dan sangat sederhana dengan cara barter.
Perkembangan masyarakat yang makin meningkat menuntut adanya gotong royong, misal dalam bercocok tanam, berburu, menangkap ikan, membuat rumah dan membuka hutan. Mereka sudah menggunakan bahasa Melayu Polinesia atau bahasa Austronesia. Hal ini didasarkan pada penelitian Hamy dan Kern serta von Heine Geldern yang menyelidiki budaya kapak persegi.
Tempat tinggal manusia terbuat dari kayu dan bambu, serta alat kerja dari bahan sejenis. Tetapi alat yang sampai pada kita hanya yang terbuat dari batu, tanah liat dan kerang. Bentuk rumah kecil dan bundar, atap melekat pada tanah. Bentuk demikian masih dijumpai di daerah Timor dan Kalimantan Barat. Sedangkan di daerah lain bentuk rumah bertiang dengan tujuan untuk menghindari bahaya banjir dan ancaman binatang buas.
Pertumbuhan jumlah manusia makin meningkat. Dalam fase ini jumlah keluarga yang banyak sangat menguntungkan. Ras yang tinggal di Indonesia meliputi ras Mongoloid (bagian Barat) dan Austroloid (bagian Timur). Pada masa bercocok tanam, manusia di Indonesia dominan ras Mongoloid. Sedangkan ras Austromelanesoid berkembang di Indonesia timur sejak masa berburu tingkat lanjut sampai masa perundagian. Di Sulawesi keadaan agak berbeda, dimana lebih dominan unsur Mongoloid.
Kehidupan masyarakat yang makin meningkat, mendorong timbulnya polusi dan timbul wabah penyakit. Umur manusia meningkat sekitar 35 tahun. Bahan makanan bergeser dari makanan zat putih telur ke makanan berzat tepung. Pangaturan makanan dan cara pengolahan makin bervariasi.
Dalam hidup bercocok tanam, manusia mulai lepas dari kekuasaan alam dan sebaliknya menguasai alam. Upacara yang menonjol yaitu penguburan mayat, terutama orang terkemuka. Manusia meyakini bahwa orang yang meninggal pada hakekatnya rohnya tetap hidup di alam lain. Ia akan hidup sebagaimana di dunia, sehingga perlu diberi bekal kubur berupa periuk, perhiasan dan sebagainya. Upacara ritual merupakan puncak pemujaan arwah nenek moyang dengan mendirikan bangunan batu besar.
Lukisan yang ditemukan pada abris sous roche memperlihatkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada saat itu. Sumber inspirasi lukisan adalah cara hidup mereka yang serba tergantung pada alam, hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Lukisan yang ada mengandung nilai magis yang berkaitan dengan totemisme dan upacara ritual yang belum diketahui secara jelas.
Cap jari tangan dengan warna merah diinterpretasikan sebagai tolak bala terhadap makhluk halus yang jahat. Menurut Roger dan Gelis, lukisan di Irian Jaya berkaitan dengan penghormatan terhadap nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi atau keperluan lainnya. Gambar kadal pada lukisan di Seram mengandung arti magis yaitu sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar